Animasi



Wednesday, June 1, 2011

mawlid Rosulullah

KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
 بِسْمِ اللهِ الَّذي أرسَلَ لَنا مَن بِالْحَقِّ سَنَّ، والْحَمْدُ للهِ الَّذي جَعَلَ لَنا مِنَ البِدَعِ ما هُوَ حَسَنٌ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على صاحِبِ الصَّوْتِ والوَجْهِ الْحَسَنِ، أَبي القاسِمِ جَدِّ الْحُسينِ والْحَسَنِ. أمَّا بَعْدُ فَهَذَا بيانُ جَوازِ الاحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ وَأَنَّ فيهِ أَجْرًا وَثَوابًا. نَقولُ مُتَوَكِّلينَ على اللهِ:
Kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW kemuka bumi ini merupakan karunia teragung yang dianugrahkan Allah SWT untuk umat manusia. Kelahirannya bak matahari terbit menyinari alam semesta dari kegelapan malam. Ia bagaikan bulan purnama diantara bintang-bintang  dan air ditengah gurun sahara, cahayanya menjajnjikan kebahagian dan ketentraman abadi, kesejukannya menghantarkan kemenangan dan kesejahteraan yang hahiki. Wahai Nabi… Wahai Rasulullah ….Wahai Kekasih Allah…. kami  sambut kedatanganmu dengan rangkaian bunga Sholawat dan Salam.
Merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam, adalah merupakan salah satu amal yang paling utama dan sebuah cara pendekatan diri kepada Allah Rabbil Izzati. Karena keseluruhan rangkaian peringatan Maulid  Nabi  tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan dan kecintaan  umat Islam kepada beliau. Dan cinta kepada Nabi merupakan salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah SWT, yang menyandingkan keduanya dan mengancam siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya.
Buku yang hadir dihadapan pembaca adalah sebuah buku kecil  atas studi  sejarah dan legalitas hukum perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diambil dari pendapat-pendapat ulama terdahulu. Tentu saja kehadiran buku ini tidak memuat seluruh pendapat ulama Islam, tetapi buku ini cukup dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran tentang hakikat perayaan Maulid Nabi secara komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.
Kemudian hanya kepada Allah Azza wa Jalla, penulis memohon Taufiq dan Hidayah-Nya, semoga buku ini berguna bagi diriku dan bagi saudara-saudaraku yang meminatinya.
Allahumma barik lana fie ‘amalina.Amien….!!!
Selamat membaca.
                                                  
                                            
MUQODDIMAH
Sesungguhnya Maulid (kelahiran) Baginda Nabi Muhammad SAW yang mulia merupakan limpahan rahmat Ilahi yang dihamparkan bagi sejarah manusia seluruhnya. Allah SWT dalam Al Qur’an Al-Karim telah mengungkapkan keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Rahmat ini tidak terbatas, ia meresap masuk ke dalam pendidikan, pengajaran, dan pensucian jiwa manusia. Rahmat tersebut jugalah yang menunjukan manusia ke jalan kemajuan yang lurus dalam lingkup kehidupan mereka, baik secara materi maupun maknawi. Rahmat tersebut juga tidak terbatas untuk orang-orang di jaman itu saja, tetapi membentang luas sepanjang sejarah manusia seluruhnya.
Kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW, adalah nikmat terbesar dan anugerah teragung yang Allah berikan kepada alam semesta. Ketika manusia saat itu berada dalam kegelapan syirik, kufur, dan tidak mengenal Rabb pencipta mereka. Manusia mengalami krisis spiritual dan moral yang luar biasa. Dimana nilai-nilai kemanusiaan sudah terbalik. Penyembahan terhadap berhala-berhala menjadi suatu kehormatan, perzinaan menjadi suatu kebanggaan, mabuk dan berjudi menjadikan lambang dari kejantanan, dan merampok serta membunuh adalah suatu keberanian dan keperkasaan. Manusia pada waktu itu tidak lagi berjalan dengan akalnya, melainkan disetir oleh hawa nafsu kebinatangannya. Yang kuat memeras yang lemah. Wanita tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan semata-mata simbol seks dan pemuas hawa nafsu belaka. Akidah yang dibawa para Nabi sebelumnya, lenyap ditelan kebodohan. Mereka tidak lagi menyembah Allah Rabbul alamin, Pencipta alam semesta, melainkan menyembah patung-patung yang mereka ciptakan sendiri.
Dari apa yang baru saja kita paparkan, terlihat dengan jelas bahwa kemanusiaan di Jazirah Arab pada waktu itu sungguh sangat hancur. Sampai-sampai seorang  yang bernama Abrahah tiba-tiba berniat untuk menghancurkan Ka’bah, tempat yang sangat Allah sucikan. Suatu tindakan kebodohan yang demikian jelas. Dan Abrahah memang serius untuk menghancurkan Ka’bah. Pada waktu itu ia dan pasukan gajahnya sudah berangkat dari Yaman menuju Makkah. Namun Allah SWT yang Maha mengetahui akan niat jahat Abrahah. Sebelum mereka mencapai tujuannya. Allah SWT segera mengirimkan burung-burung Ababil, menyebarkan kepada mereka batu-batu api neraka yang menghanguskan. Di saat seperti ini rahmat ilahi memancar dari jazirah Arab, seorang bayi bernama Muhammad. Dengan kuasa  Allah lahirlah dari rahim seorang Ibu bernama Aminah, tepatnya 12 Rabi’ul Awal, tahun Gajah. seorang bayi yang diberi nama oleh kakeknya dengan Nama Muhammad, dialah yang kemudian  oleh Allah SWT dipilih sebagai seorang Rasul, pembawa risalah-Nya, kepadanya Allah turunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk jalan kehidupan . Maka dari sejak itu muncul sebuah zaman baru yang sangat mengagumkan bagi bangkitnya kemanusiaan. Manusia yang benar-benar manusia, tunduk kepada Allah SWT Sang Penciptanya dan pencipta segala mahluk. Keadilan benar-benar ditegakkan, dan kedzaliman dan kebiadaban dihancurkan. Kaum wanita dihargai kemanusiannya serta diangkat harkat dan martabatnya, minuman keras dilarang, karena merusak akal fikiran dan kejahiliahan diperangi dan dimusnahkan.
 Rasul (utusan Allah) yang ditunggu-tunggu oleh alam semesta telah datang untuk menghancurkan semua kebathilan, menghentikan semua kerusakan ini dan membawanya kepada cahaya ilahi. Membaca rekam jejak Baginda Nabi SAW dengan tekun dan lebih seksama, kita bakal mafhum betapa beliau SAW adalah pribadi yang sempurna. Beliau SAW sama sekali tak membekaskan cela dalam rentang sejarah yang beliau SAW jalani. Setiap langkah, ucap, laku, dan sikap yang pernah ditorehkan Rasulullah SAW adalah teladan yang paling layak untuk diikuti oleh umat manusia. Allah SWT berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (al-Ahzab ; 21)
Inti ajaran Kanjeng Nabi SAW adalah kasih sayang. Bukan hanya kepada umat Islam, akan tetapi kepada umat manusia, bahkan kepada seluruh alam semesta. Nilai-nilai yang senantiasa beliau SAW ajarkan kepada keluarga (ahlul bait) dan para sahabat adalah tentang kasih sayang, baik dengan ucapan maupun tingkah-laku. Rahmat, atau kasih sayang yang ditabur Rasulullah SAW mencakup seluruh makhluk, lebih-lebih kepada kaum mukminin, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya:
لقد جاءكم رسولٌ من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم
Artinya: “Telah datang kepada kamu seorang utusan Allah dari jenis kamu sendiri, ia merasakan apa penderitaanmu, lagi sangat mengharapkan akan keselamatanmu, kepada orang yang beriman senantiasa merasa kasih sayang”. (Qs. at-Taubah : 128)
Rahmat yang diusung Baginda Rasul SAW sangatlah besar dan luas, dan telah teruji oleh berbagai peristiwa yang menimpa beliau SAW di masa-masa awal dakwah. Kita maklum adanya bahwa ketika beliau dilempari batu oleh kaum kafir hingga berdarah-darah, tidak keluar dari lisan beliau ucapan-ucapan atau doa yang penuh dendam kesumat. Justru kalimat-kalimat indah yang beliau unjukkan,
اللهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ ، (رواه البخاري)
Artinya: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka belum tahu.” (HR.Bukhari)
Demikian pula ketika Baginda Rasulullah Saw didatangi malaikat penjaga gunung, meminta izin untuk menumpahkan dua gunung kepada kaum yang telah mencederai Beliau, maka Rasulullah SAW pun spontan menolak seraya berkata :
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ،( رواه البخاري)
Artinya; “akan tetapi aku berharap Allah mengeluarkan dari sulbi-sulbi mereka orang yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (H.R. Bukhori)
Pada doa Nabi itu tersirat makna yang dalam yang menunjukkan betapa Beliau SAW amat rahmat terhadap umatnya. Coba kita perhatikan dengan seksama. Pertama, Beliau SAW memintakan ampunan untuk mereka. Lalu, Beliau SAW mengakui mereka sebagai kaumnya. Beliau SAW tidak mengatakan “ampunilah mereka”. tapi beliau katakan “ampunilah kaumku”. Tak cukup itu, beliau juga memberikan alasan agar mereka benar-benar diampuni oleh-Nya. Beliau mengemukakan,
فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْن
“Sesungguhnya mereka belum tahu.”
Beliau juga mendoakan anak turunan mereka agar kelak dijadikan orang beriman dan menyembah Allah SWT. Inilah kunci sukses dakwah beliau dalam mengajarkan Islam. Sifat kasih sayang beliau SAW amatlah terang benderang. Perihal itu bisa kita ketahui dari riwayat-riwayat hadits yang mendedahkan fakta bahwa lisan beliau tak pernah mengucapkan kata-kata cercaan dan caci maki. Beliau SAW sendiri bersabda,
” إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا.وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً “(رواه مسلم)
Artinya: “Aku tidak diutus sebagai juru laknat. Aku diutus sebagai penyemai rahmat”.(HR.Muslim)
Bahkan beliau Rasulullah SAW kepada pihak-pihak yang mencanangkan sikap permusuhan, yakni kaum kuffar Quraiys, beliau SAW tetap bersikap penuh rahmat. Kita tahu, mereka ini sangat kejam dan represif kepada Rasulullah SAW dan para sahabat ketika masih di Mekah. Akan tetapi, tatkala Mekah telah ditaklukkan Rasulullah SAW, mereka sama sekali tak mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sifatnya balas dendam. Mereka kaum kuffar Quraisy malah mendapatkan perlindungan dan pengamanan, padahal hati mereka diliputi rasa takut ketika itu, mereka berdebar menanti keputusan Rasulullah SAW, dan tak seorang pun berani keluar, seakan Mekah berubah menjadi kubur tak berpenghuni. Sungguh tak mereka duga Rasulullah SAW akan memaafkan mereka seraya berkata :
“Aku hanya katakan kepada kalian sebagaimana ucapan Nabi Yusuf kepada para saudaranya:
لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينْ
Artinya: “Tiada cercaan atas kalian pada hari ini, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.”.
Mendengar pernyataan Rasulullah ini mereka pun keluar dari rumah-rumah mereka seakan baru dibangkitkan dari kubur untuk bersama-sama masuk islam. (H.R. Al-Baihaqi)
Maka luluhlah hati kaum kuffar Quraiys, mereka malu dan segan melihat budi pekerti agung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kasih sayangnya. Lidah pun kelu, tak mampu berucap sepatah kata pun. Dan dari sejak itu mulailah bersemi rasa cinta di dalam hati para kuffar Quraiys. Tumbuh pula kecondongan mereka terhadap nilai-nilai mulia yang diteladankan Baginda Rasul SAW. Sungguh indah dan penuh kasih sayang. Nilai-nilai inilah yang sejatinya terus dipegang-teguh oleh ahlul bait beliau SAW. Kita saksikan bagaimana Imam Ali kw. tak pernah mengecam orang-orang yang tidak patuh padanya. Begitu pun ahlul bait setelahnya, yakni Imam Hasan imam Husein. Mereka tahu bahwa ayah mereka dilaknat di mimbar-mimbar. Bahkan pada saat itu seakan menjadi keharusan bagi khotib untuk melaknat Sayyidina Ali. Tapi tidak setitik pun kesumat membara di hati mereka berdua. Tak ada kata laknat keluar dari lisan mereka. Sikap ini diikuti generasi ahlulbait selanjutnya, seperti Imam Ali Zainal Abidin, imam Muhammad al-Baqir, dan Imam Jakfar Shodiq. Mereka adalah pewaris akhlak, sifat dan hal datuk mereka, Rasulullah SAW sebagai penebar rahmat, bukan penyebar laknat.
Kelahiran makhluk mulia Baginda Nabi Muhammad SAW yang ditunggu jagad raya membuat alam tersenyum gembira dan memancarkan cahaya. Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam sebuah syairnya yang indah:
ولد الهدى فالكائنات ضياء     وفم الزمان تبسم وثناء
Artinya: “Telah dilahirkan seorang Nabi alam pun bercahaya sang waktu pun tersenyum dan memuji”
Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi pengarang kitab Maulid Habsyi (Biasa disebut Simthud-Durar fi akhbar Mawlid Khairil Basyar min akhlaqi wa awshaafi wa siyar) juga menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah:
اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
Artinya: “Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya”.
Dengan tuntunan Allah SWT Baginda Nabi Muhammad SAW berhasil melaksanakan misi risalah yang diamanahkan Allah SWT kepadanya. Setelah melalui perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai macam rintangan dan hambatan yang menimpa kepada Rasulullah Saw. Beliau berhasil mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah menuju keadilan Islam. Inilah teladan yang diberikan Rasulullah saw kepada kita sebagai umatnya. Jazakallah ya Rasulallah an ummatika afdhola ma jazallah nabiyyan an ummatih.
Kehadiran umat manusia di dunia ini, tidaklah dibiarkan dengan begitu saja oleh Allah SWT, tanpa adanya bimbingan dan hidayah dari-Nya. Namun Dia  Allah SWT mengutus seorang Rasul-Nya pada setiap umat manusia, untuk mengarahkan dan membimbing mereka menuju makna dan hakikat diciptakannya manusia sehingga menjadi manusia yang benar-benar manusia.Yaitu manusia yang sesuai dengan aturan-Nya. Dan selain itu diutusnya seorang rasul kepada umat manusia yaitu untuk membebaskannya dari belenggu kemusyrikan dan kejahiliyahan. Firman Allah SWT:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Artinya: “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Kemudian Rasul mengajak kepada umat manusia untuk menghambakan diri hanya kepada Allah  SWT semata tanpa menyekutukan-Nya. Membacakan kitab-kitab Allah dan mengajarkannya, begitu juga hikmah, membersihkan hati dari keburukan-keburukan akhlak kaum jahiliyyah, memberinya pelajaran-pelajaran yang sangat berharga bagi kehidupannya, baik kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. Menyelamatkannya dari kesesatan hidup, dan menjaganya dari kerusakan. Khusus untuk umat yang mulia ini, Allah Swt, mengutus seorang utusan pilihan yaitu  Baginda Nabi Muhammad bin Abdullah yang ummi (buta huruf), yang terjaga kehidupannya dari perbuatan salah dan tercela, firman Allah SWT:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya:  “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.(Qs.Ali’Imran:164)
Sebagai pembuka buku ini, ada baiknya kita simak perkataan ulama Kharismatik dari Universitas Al-Azhar Mesir yaitu Asy-Syaikh Husnain Makhluf Rahimahullah dalam kitab Fatawa Syar’iyyah, juz 1 halaman.131 menulis:
إن من إحياء ليلة المولد الشريف، وليالي هذا الشهر الكريم الذي أشرق فيه النور المحمدي إنما يكون بذكر الله وشكره لما أنعم به على هذه الأمة من ظهور خير الخلق إلى عالم الوجود، ولا يكون ذلك إلا في أدب وخشوع وبعد عن المحرمات والبدع والمنكرات، ومن مظاهر الشكر على حبه مواساة المحتاجين بما يخفف ضائقتهم وصلة الأرحام، والإحياء بهذه الطريقة وإن لم يكن مأثور في عهده صلى الله عليه وسلم ولا في عهد السلف الصالح إلا أنه لا بأس به وسنة حسنة
Artinya: “Sesungguhnya daripada  menghidupkan malam Kelahiran Nabi Asy-Syarif dan malam-malam bulan yang mulya ini yang menerangi didalamnya Nur Muhammadiy (cahaya kenabian), yaitu dengan berdzikir kepada Allah SWT, bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada umat ini, termasuk dilahirkannya makhluk terbaik   ke alam semesta ini, dan tidak ada yang demikian itu kecuali dengan sebuah akhlak dan kekhusuan serta menjauhi dari perkara-perkara yang diharamkan, menjauhi amalan bid’ah (Bid’ah Sayyi’ah) serta menjauhi berbagai macam bentuk kemungkaran. Dan termasuk menampakkan kesyukuran sebagai bentuk kecintaan kepada Baginda Nabi SAW, yaitu  menyantuni orang-orang yang tidak mampu, menjalin shilaturahim dan menghidupkan dengan cara ini walaupun tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan tidak pula ada dimasa salafush shaleh adalah tidak apa-apa serta termasuk sunnah hasanah”.
Al-Imam al-Alim al-Allamah as-Syaikh Mutawalli Sha`Rawi rahimahullah dalam kitabnya al Ma’idat al-fikr  al-Islamiyyah  halaman. 295, menuliskan sebagai berikut:
إذا كان بنو البشر فرحون بمجيئه لهذا العالم، وكذلك المخلوقات الجامدة فرحة لمولده وكل النباتات فرحة لمولده وكل الحيوانات فرحة لمولده وكل الجن فرحة لمولده، فلماذا تمنعونا من الفرح بمولده
Artinya: “Jika makhluk hidup bahagia atas kelahiran Nabi nya itu dan semua tanaman senang atas kelahirannya, semua binatang senang atas kelahirannya semua malaikat senang atas kelahirannya, dan semua jin senang atas kelahirannya, mengapa engkau mencegah kami dari yang bahagia atas kelahirannya?. (untuk menjawab pendapat orang orang yang tidak memperbolehkan perayaan Maulid Nabi).
Allah Swt, menganjurkan kepada kita untuk bergembira atas setiap rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kita, termasuk kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW, yang membawa rahmat kepada alam semesta, Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: “Katakanl: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(QS.Yunus:58).
As-Syaikh Al-Imam As-Suyuti meriwayatkan:
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في الآية قال:فضل الله العلم، ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم
Artinya:Abu As-Syaikh  telah meriwayatkan daripada Sayyidina Ibn Abbas r.a. tentang tafsiran ayat ini “Karunia Allah” adalah Ilmu dan “Rahmat-Nya” adalah Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam”. (Lihat Ad-Durr Al-Manthsur oleh Imam As-Suyuti, dan lihat juga dalam Al-Bahr Al-Muhith oleh Imam Abu Hayyan)
Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَمَا أرْسَلنَاكَ إلا رَحْمَةً لِلعَالمِين
Artinya: “Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS.Al-Anbiya,107)
Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian yang luar biasa atas kelahiran Baginda Nabi SAW dan memperingatinya setiap tahunnya, bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja yang dihuni oleh muslim sunni) Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan sebagian besar negara-negara Islam lainnya. Di negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di tinggalkan oleh umat islam.
Hukum Perayaan Maulid Nabi telah menjadi perdebetan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid’ah. Membicarakan tentang hukum perayaan maulid Nabi hingga saat ini masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim walaupun sebenarnya masalah ini sudah dibahas tuntas oleh para ulama sejak dulu. Ironisnya, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid.
Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh awal mula tradisi perayaan Maulid ini.
BAB I
SEJARAH MAULID
A.     SEJARAH  TRADISI PERAYAAN MAULID
Dilihat dari asal usul kata, sejarah bersal dari bahasa arab, yaitu syajaratun yang berarti pohon, keturunan, asal usul atau silsilah. Dalam bahasa Inggris (history), Bahasa Yunani (istoria), Bahasa Jerman (geschicht). Sejarah, dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau yang benar-benar terjadi.atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk raja-raja yang memerintah). Umumnya sejarah dikenal sebagai informasi mengenai kejadian yang sudah lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah berarti mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh orang perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah mencakup: pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis. Dahulu, pembelajaran mengenai sejarah dikategorikan sebagai bagian dari Ilmu Budaya (Humaniora). Akan tetapi, di saat sekarang ini, Sejarah lebih sering dikategorikan sebagai Ilmu Sosial, terutama bila menyangkut perunutan sejarah secara kronologis. Ilmu Sejarah mempelajari berbagai kejadian yang berhubungan dengan kemanusiaan di masa lalu. Sejarah dibagi ke dalam beberapa sub dan bagian khusus lainnya seperti kronologi, historiograf, genealogi, paleografi, dan kliometrik. Dan Orang yang mengkhususkan diri mempelajari sejarah disebut sejarawan. Ilmu Sejarah juga disebut sebagai Ilmu Tarikh atau Ilmu Babad.
Ibnu Khaldun (1332-1406.M) mendefinisikan sejarah sebagai catatan tentang masyarakat umum manusia atau peradaban manusia yang terjadi pada watak atau sifat masyarakat itu.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, merupakan bagian dari tradisi umat Islam karena perayaan maulid Nabi hanyalah sebagai salah satu tradisi umat Islam sejak masa lalu dan bukan bagian dari syariat. Perayaan maulid adalah sebuah kegiatan yang bertujuan untuk menyemarakan syiar dakwah Islam, bukan perayaan yang bersifat ritual. Dalam peringatan Maulid Nabi disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi  beliau. Bukankah kita umat Islam diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya? Oleh karena itu perayaan Maulid Nabi SAW dikatagorikan sebagai kebudayaan Islam yang merupakan hasil kreasi umat Islam yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri dan bertujuan untuk mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Allah SWT karena Dia telah menurunkan hamba-Nya Muhammad SAW sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam.
Banyak orang yang keliru dalam memahami subtansi perayaan  Maulid Nabi SAW yang  diselenggarakan oleh mayoritas muslim di dunia pada setiap bulan Rabiul Awwal. Mereka mendefinisikannya secara keliru yang kemudian banyak melahirkan persoalan baru dan perdebatan-perdebatan yang panjang yang membuat mereka menyia-nyiakan waktunya dan para pembacanya. Persoalan dan perdebatan ini tidak bernilai sama sekali laksana debu yang beterbangan karena dibangun di atas asumsi-asumsi keliru.saya telah banyak mengupas tentang persoalan perayaan maulid di forum-forum terbuka dengan uraian yang jelas tentang konsep perayaan Maulid. Telah saya jelaskan sebelumnya bahwa berkumpul dalam rangka memperingati maulid Nabi hanyalah sebuah tradisi dan sama sekali bukanlah sebuah bentuk ibadah. Silakan saja, siapa pun bisa memberikan interpretasi karena seseorang akan membenarkan atas apa yang dikatakan tentang dirinya dan substansi keyakinannya, bukan orang lain.
Dalam setiap acara, pertemuan dan perayaan, saya katakan bahwa pertemuan dengan format demikian adalah sekadar tradisi  umat Islam yang baik bukan perayaan yang  bersifat ritual. Setelah penjelasan ini, ternyata masih banyak  orang yang ingkar, dan bantahan dari orang-orang yang menentangpun semakin  hebat dan dengan lantangnya mereka mengatakan bahwa: “Perayaan Maulid Nabi SAW adalah kesesatan dan kemaksiatan yang tidak sepatutnya oleh kaum muslimin perayaan itu diadakan, karena perayaan Maulid Nabi tersebut belum pernah dilakukan oleh Nabi SAW pada masa beliau masih hidup”. Hasbunallah…! Saya katakan ini merupakan tuduhan yang keji terhadap kaum muslimin yang merayakan Maulid Nabi dan adanya kesalahan fahaman dalam memahami subtansi Maulid.
Pelajar dengan kapasitas keilmuan yang terendah sekalipun akan mengetahui perbedaan antara tradisi dan ritual ibadah serta substansi keduanya. Oleh karena itu Jika seseorang berkata,”Perayaan Maulid adalah ritual ibadah yang disyari`atkan beserta tata caranya, “Saya bertanya kepadanya, “Manakah dalilnya?” Dan jika ia berkata, “Perayaan Maulid adalah tradisi,” saya katakan kepadanya, “Berbuatlah sesukamu.” Karena yang berbahaya dan menjadi bencana yang kami khawatirkan adalah membungkus ibadah dengan perbuatan bid`ah yang tidak disyari’atkan, namun hanya ijtihad manusia. Ini adalah pandangan yang tidak kami setujui dan justru kami memerangi pandangan seperti itu.
Berkumpul dalam rangka memperingati maulid Nabi Muhammad SAW dengan sedikit membaca ayat-ayat al-Qur’an, membaca sirahnya, melantunkan qaidah-qasidah untuk menyanjungnya dan membaca shalawat kepadanya hanyalah sebuah tradisi umat Islam yang telah ada sejak dahulu. Namun walaupun demikian, ia termasuk tradisi positif yang mengandung banyak manfaat untuk masyarakat dengan keutamaan yang sempurna karena kemanfaatan itu dianjurkan oleh syari`at satu per satunya. Termasuk persepsi-persepsi keliru yang ada dalam benak sebagian orang yang anti dan alergi terhadap perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh mayoritas umat Islam di dunia adalah mereka menyangka bahwa: “Kami menyelenggarakan peringatan maulid Nabi pada malam tertentu saja, tidak dilakukan sepanjang tahun”. Kami katakan Siapapun yang berprasangka bahwa kami menyelenggarakan peringatan Maulid pada malam tertentu dan mengingat Nabi  hanya pada satu malam saja dan melupakan beliau selama 359 malam, berarti ia telah melakukan dosa besar dan kebohongan nyata. Barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mengkhususkan penyelenggaraan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW pada malam tertentu, berarti ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu akan fakta sesungguhnya.
وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الأَذْهَانِ شَيْءٌ*إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيْل
Artinya: “Sungguh sama sekali tidak masuk akal jika terang benderangnya siang perlu bukti”.
Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan dalam rangka merayakan maulid Nabi ini adalah wahana besar untuk mengajak mendekatkan diri kepada Allah. Ini adalah kesempatan emas yang sepantasnya tidak dilewatkan begitu saja. Bahkan, wajib bagi para dai dan ulama untuk mengingatkan umat akan budi pekerti, etika, aktivitas, perjalanan hidup, muamalah, dan ibadah beliau dan menasihati serta membimbing mereka menuju kebaikan dan kesuksesan dan juga memperingatkan mereka akan bencana, bid`ah, keburukan, dan fitnah. Harus diakui memang tidak tercatat dalam kitab-kitab sejarah Islam informasi adanya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada  masa beliau hidup seperti yang kita rayakan pada saat ini. Nabi hanya mengisyaratkan dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan dalam kitab shohih muslim, pada bab As-Shiyam, bahwa baginda Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari senin, dan beliau menjawab:” Itu adalah hari aku dilahirkan dan itu adalah hari aku menerima wahyu kenabian”.
Hadits ini menunjukan bahwa Baginda Rasulullah SAW melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah Swt, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Hal ini merupakan isyarat dari Rasulullah SAW. artinya jika beliau puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah SAW tersebut kita bersyukur kepada Allah Swt. Bersyukur atas kelahiran Rasulullah SAW bisa hasil misalnya dengan membaca Al-Qur’an, membaca sirahnya, membaca Shalawat kepada beliau, bersedekah atau perbuatan baik lainnya. Kemudian karena  puasa pada hari senin di ulang-ulang oleh Rasulullah SAW pada setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga di ulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah SAW, masih diperselisihkan mengenai tanggalnya bukan pada harinya dan tahunnya maka sah-sah saja apabila perayaan maulid pada tanggal 12, 2, 8, 9, 10, Rabiul awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah perayaan Maulid dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun.
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari hadits ini adalah sangat dianjurkan untuk bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari tersebut. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca Al-Qur’an, membaca Sholawat kepada Nabi SAW. Bukankah kelahiran Rasulullah SAW adalah nikmat yang paling besar? Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirnya Rasulullah SAW pada bulan Rabiul Awwal ini?. Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung daripada kelahiran Baginda Rasulullah SAW yang telah menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?. Demikian yang telah dijelaskan oleh Hujjatul Islam al-Hafizd Ibnu Hajar al-Asqolani dalam syarah hadist ini.
Adapun hadits-hadits yang menceritakan secara khusus adanya perayaan maulid Nabi disaat beliau hidup yang sering disampaikan oleh para muballigh dalam pengajian-pengajian seperti:
مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِىْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَـوْمَ الْقِيَا مَةِ. وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِى مَوْلِدِى فَكَأَ نَّمَا اَنْفَقَ جَبَلاً مِنْ ذَ هَبٍ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Artinya: “Barang siapa yang mengagungkan kelahiranku maka aku akan memberinya syafaat pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang memberi infaq satu dirham dalam rangka memperingati kelahiranku, maka akan diberi pahala seperti memberikan infaq emas sebesar gunung fi sabilillah”.
Hadits  seperti diatas dalam kitab kompilasi Hadits Shahih (kitab-kitab mu’tabar yang secara ilmiyah dapat dijadikan standar rujukan Hadist) saya belum pernah menemukan. Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa pada zaman Nabi dan periode khulafa’u rasyidin peringatan besar agama seperti perayaan Maulid Nabi dan perayaan Hari Besar Islam lainnya tidak pernah dilakukan. Perayaan Hari Raya resmi pada zaman Nabi hanya ada dua,yaitu Iedul Fitri dan Iedul Adha. Dalam bab ini nanti kami berusaha untuk merekonstruksi sejarah tradisi perayaan Maulid Nabi ini dengan membuktikan siapa yang pertama kali mencetuskan dan mengadakan perayaan Maulid dengan menggunakan banyak sumber literatur sejarah untuk membuktikan kevalidan sejarah tersebut. Sebab banyak sekali perdebatan mengenai tradisi Maulid telah mengemuka sejak dulu sampai saat ini. Perdebatan ini bisa dibaca dari banyaknya karya para ulama baik sejarawan barat ataupun sejarawan muslim yang meneliti tentang awal mula tradisi Maulid Nabi ini.
B.      KONTROVERSI PENCETUS PERAYAAN MAULID
Sebenarnya banyak perbedaan pendapat sejarawan dalam menentukan siapa yang pertama kali mengadakan acara perayaan Maulid Nabi. Bisa disimpulkan ada tiga pendapat yang menengarai awal munculnya tradisi Maulid ini.
Pendapat Pertama:
 Menurut As-Syaikh Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya “Al-Khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun dan Ibnu Tuwayr.
Ibnu Al-Ma’mun: Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216) Kedua Ibn Muyassar (677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i.
Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan lain sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan. Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang.
Ibn Al-Tuwayr: Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.
Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya.
Pendapat kedua:
Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir).
Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah. Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq)  yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H.
Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun walaupun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada bab hukum merayakan Maulid Nabi.
C.      PERAYAAN MAULID  OLEH MALIK MUZHAFFARUDDIN
Sepeninggal pemerintahan Fathimiyyah, Dinasti Ayyubiyah memelihara tradisi perayaan Maulid Nabi, walaupun mereka menghapuskan sebagian perayaan-perayaan lain yang dipraktekkan oleh dinasti Fathimiyah. Bahkan menurut Hasan Sandubi justru Sholahuddin menghapus seluruh perayaan Dinasti Fathimiyyah termasuk Maulid Nabi karena alasan politis jadi asumsi sebagian orang yang mengatakan bahwa Sholahuddin adalah yang pertamakali mengadakan perayaan Maulid Nabi adalah sama sekali tidak berlandaskan bukti yang valid. Sejarah hanya mencatat salah satu pembesar Dinasti Ayyubiyah yang memerintah Irbil yaitu Malik Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada tahun 630 Hijriyah mengadakan Maulid Nabi secara besar-besaran. Dia juga salah seorang kerabat Sholahudin Al-Ayubi, dimana ia menikahi Rabi’ah Khatun, adik Shalahudin Al-Ayubi karena kontribusinya yang besar dalam menegakkan pondasi dinasti Ayyubiyah, ia juga merupakan teman seperjuangan Shalahudin dalam melawan tentara Salib, terutama kecerdikannya dalam memenangkan peperangan Khittin melawan tentara Salib.
Al- Syaikh Al-Imam Ibn Katsir mengatakan: “Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan Maulid tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu.
Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut.
Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan tanggal 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi.
D.     TRADISI MAULID SEPANJANG ZAMAN
Abu’l Husayn Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Ibn Jubayr (540-614H) menceritakan dalam kitab Rihal “Maulid Nabi (tempat lahir dan rumahnya Nabi) pada setiap hari senin selama bulan Rabiul Awal dibuka untuk umum dan orang-orang Mekkah serta para jamaah umrah yang berduyun-duyun mendatanginya untuk mengambil berkah (tabarruk)”.
Abu Al-Abbas Ahmad Al-Azafi dalam kitabnya Ad-durr Al-Munazzam fi Al Mawlid Al-mu’azzam Menceritakan bahwa pada hari Maulid Nabi di kota Mekkah saat itu dalam memperingati Maulid pintu Ka’bah dibuka dan semua bentuk transaksi jual-beli diliburkan, semua toko dan halaqah pengajian ditutup. Penduduk Mekkah dan para peziarah sibuk bergegas mengunjungi Rumah tempat kelahiran Nabi yang sekarang dijadikan perpustakaan yang selalu terkunci, karena pemerintah Arab dan ulama-ulama wahabi khawatir jika rumah ini dibangun rapi akan dijadikan tempat syirik oleh jamaah haji yang tidak mengerti masalah tauhid. Saya dengar ini dibiarkan begini agar tidak disucikan oleh jamaah haji yang belum murni tauhidnya. Walaupun demikian pada kenyataannya masih banyak jamaah haji yang datang berdo’a didepan pintu tempat kelahirannya Nabi SAW yang merupakan bangunan terjelek disekitar Masjidil Haram. Pada malam Maulid Nabi SAW penduduk Mekkah memperingatinya dengan memasak makanan-makanan yang istimewa sebagaimana menyambut hari besar Islam Idul Fitri. Pemimpin Mekkah (syarif) segera memerintahkan para askar tentara untuk mendatangi tempat kelahiran Nabi dan melafalkan Qasidah maulid di sana. Deretan lilin dan lampu bersinar gemerlapan ditempatkan dari Masjidil Haram sampai rumah tempat lahir Nabi. Toko dan rumah di jalan-jalan Mekkah juga dihiasi oleh berbagai macam pernak-pernik lampu. Perayaan acara Maulid Nabi dimulai setelah sholat Maghrib dengan membaca Qasidah Maulid di rumah tempat kelahiran Nabi.
Sejarawan terkenal Ibnu Bathuta menjelaskan dalam bukunya Rihla bahwa sejak masuk bulan Rabiul Awwal setiap jum’at setelah shalat pintu Ka’bah dibuka oleh pemimpim Bani Shayba petugas penjaga pintu Ka’bah dan pada tanggal 12 pemimpin Qodhi Najmuddin Muhammad ibn Imam Muhyiddin Al-Tabari membagi-bagikan makanan dan hadiah kepada para syurafa (keturunan Nabi) dan penduduk Mekkah secara umum .
Setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam rangka memperingati Maulid Nabi setelah sholat Magrib keempat qodi Mekkah yang mewakili dari 4 madzhab termasuk diantaranya para ulama tokoh tokoh masyarakat Syeikh Zawiya dan para santrinya, ruasa (para fungsionaris pemerintahan) berduyun-duyun meninggalkan Masjid Haram dan mendatangi tempat kelahiran nabi untuk mengikuti acara perayaan Maulid mereka membaca dzikir dan membaca qosidah Maulid. Rumah-rumah dan jalan umum dihiasi oleh berbagai lentera, lampu dan lilin-lilin besar para penduduk Mekkah menggunakan pakaian istimewa dan mengajak anak-anak dan keluarganya untuk menghadiri acara tersebut. Selepasnya acara di tempat kelahiran Nabi mereka berdesak-desakan kembali ke Masjid Haram untuk melakukan sholat Isya berjamaah dan duduk bersimpuh di depan Maqom Ibrahim kemudian mulai acara Maulid dimulai dengan sambutan kepada khalifah, amir Mekkah dan para qodhi kemudian ceramah tentang sirah Nabi diakhiri dengan doa.
E.      TRADISI MAULID DI INDONESIA
Di Indonesia, perayaan Maulid Nabi SAW  disahkan oleh negara sebagai Hari Besar Islam dan Hari libur Nasional. Perayaan Maulid Nabi di selenggarakan di surau-surau, masjid-masjid, majelis-majelis ta’lim, di pondok-pondok pesantren dan di berbagai lembaga sosial keagamaan bahkan instansi-instansi pemerintahan. Tradisi peringatan Maulid, biasanya disebut Muludan, paling megah dan dihadiri ratusan ribu orang diadakan di Kraton-Kraton di Jawa, terutama Yogya dan Cirebon. Ia diadakan pada setiap malam 12 Rabi’l Awal. Masyarakat muslim merayakannya dengan beragam cara dan dengan sejumlah acara seremoni dan kemeriahan yang menggairahkan. Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak acara seremonial yang ditunggu-tunggu dengan penuh minat. Biasanya mereka mengundang penceramah untuk bicara sejarah Nabi. Mereka, secara bergantian, juga membaca Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak kelahiran sampai wafatnya), dalam bentuk narasi prosais  kadang-kadang dengan irama yang khas. Sebagian lagi sejarah Nabi tersebut dikemas dalam bentuk puisi-puisi yang berisi sejarah dan madah-madah (pujian-pujian) atas nabi. Salah satu puisi maulid Nabi  saw ditulis oleh Syeikh Barzanji.
Di Banten, tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW diselenggarakan diberbagai kampung, desa, kecamatan dan kabupaten. Di kabupaten Serang ada tradisi dalam memperingati Maulid. Tradisi ini disebut dengan panjang mulud yaitu sebuah tradisi mengarak berbagai jenis makanan, sembako, pakaian, dan uang dalam kendaraan yang telah dihias dengan kertas hiasan berwarna-warni. Panjang Mulud biasa diperingati setiap tahun. Dalam tradisi ini tiap keluarga dalam satu lingkungan biasa menghidupkan malam maulid dengan mengundang saudara, teman, kerabat dan kenalan dekat dan jauh. Ada semacam perlombaan dalam hal ini. Mereka yang diundang itu dijamu dan dimuliakan betul. Dan, inilah salah satu hal yang ingin dicontoh dari Nabi, yang tengah diperingati kelahirannya. Malam-malam dilewatkan dengan begadang, membuat masakan dan hiasan. Ada telur yang dihias dengan kertas aneka warna menjadi bentuk bebungaan, bertangkai batang bambu. Tamu-tamu dipersilakan mencoba, tanpa harus takut membuat kesalahan. Jika tak kuat begadang sampai pagi disediakan kamar dan dipersilakan tidur.
Dalam Tradisi Panjang Maulud, terdapat nuansa kental pengorbanan, kebersamaan, dan kegembiraan. Disebut pengorbanan, karena hampir semua warga masyarakat meliburkan aktifitasnya barang sehari hingga dua hari guna mempersiapkan tradisi panjang maulud, bahkan tidak heran mereka yang berkemampuan ekonomi lemah, berupaya ikut merayakan Panjang Maualud dengan membuat makanan atau hantara istimewa. Kebersamaan, karena setiap rumah, kampung, hingga satu wilayah menyemarakan Tradisi ini dengan hantaran makanan, pengajian hingga makan bersama. Kegembiraan, karena ada atmosfir yang sama ramai-riuh mengarak aneka makanan yang dikemas kedalam aneka bentuk hiasan dan berupaya membuat semewah mungkin.
Panjang Maulud identik dengan menghias, mengemas, memberikan hadiah dan mengaraknya. Hadiah yang diperebutkan pun dibuat dengan berbagai macam bentuk yang disebut dengan istilah ‘Panjang’. Ada yang berbentuk miniatur masjid -biasanya mengambil model Masjid Agung Banten Lama lengkap dengan menaranya- kapal laut, pesawat terbang, burung dan lain sebagainya.  Isi Panjang itu juga bisa bermacam-macam. Bisa berupa makanan, seperti telur ayam, atau bebek, daging ayam, ikan, dan lauk-pauk lainnya, tetapi bisa juga berupa pakaian, sajadah, sarung, kopiah, arloji, jam dinding, dan sebagainya. Di sela-sela makanan atau pakaian itu kadang-kadang terselip lembaran uang. Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi ini muncul di Banten, yang jelas, tradisi panjang mulud ini dirayakan masyarakat Banten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa panjang mulud lahir pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). Ada juga yang berpendapat panjang mulud bermula pada pada masa sultan Banten kedua, Maulana Yusuf (1570-1580), namun tradisi Panjang Mulud yang mulai melibatkan masyarakat secara massal baru dimulai pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat kaburnya jejak sejarah itu, warga setempat hanya mengatakan bahwa perayaan itu untuk melestarikan tradisi para pendahulu mereka. Saat ini Panjang Maulud, sudah menjadi event tahunan yang secara resmi dijadikan sebagai Program pemerintahan di Banten, Khususnya Pemerintah Kota Serang.Pada Tanggal 16 februari 2011 ini kota serang Serang mengemas Panjang Maulud sekaligus Lomba MTQ se-Kota Serang, dengan mengadakan parade kendaraan dan aneka hiasan yang diramaikan oleh masyarakat, instansi pemerintah, lembaga pendidikan. Dengan memulai parade sekitar 4 Km, dimulai dari Stadion Maulana Yusuf, hingga Kompleks Pemerintahan Kota Serang.
Begitu juga perayaan Maulid Nabi diadakan ditingkat propinsi oleh gubernur propinsi banten yang saat ini dijabat oleh Hj.Ratu Atut Chosiyah,SE, beliau adalah seorang gubernur yang agamis, ramah, dekat dengan berbagai lapisan masyarakat, juga menaruh perhatian besar terhadap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Peringatan Hari Besar Islam lainnya. Perayaan maulid dibanten diselenggarakan dengan berbagai corak sesuai dengan tradisi daerahnya masing-masing, tentunya semua itu tidak terlepas dari inti perayaan Maulid. Dan sudah menjadi tradisi pada saat datang bulan Rabiul Awwal, ribuan masyarakat baik dari daerah banten sendiri maupun masyarkat luar banten mendatangi kompleks Masjid Agung Banten yang terletak 10 km arah utara Kabupaten Serang. Mereka berziarah kemakam para sultan, antara lain Sultan Maulana Hasanudin secara bergiliran.
Di Yogyakarta dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah Sekaten. Istilah ini berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Sekaten diselenggarakan Pada tanggal 5 sampai tanggal 12 bulan Rabiul Awwal atau bulan ketiga dari penanggalan jawa, tradisi sekaten biasanya dilakukan di Keraton Jogjakarta dan Keraton Surakarta. Perayaan sekaten terdiri dari beberapa tahapan kegiatan. Diawali dengan “Sekaten Sepisan” yaitu kegiatan dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, kemudian pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` atau menyebar uang dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Jogjakarta dan ditutup dengan Grebeg. Pada masa penyiaran agama Islam di Jawa oleh Sunan Kalijogo mempergunakan sarana budaya lokal untuk berdakwah menyebarkan ajaran Islam. Salah satunya mempergunakan instrumen musik jawa Gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati acara karawitannya. Saaat itu kanjeng  Sunan KaliJogo menggunakan dua perangkat gamelan yaitu laras swara yang merdu yang dinamai dengan Kyai Nogowilogo dan Kyai gunturmadu
Kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu pada perayaan sekaten dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap. Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai Srono” (Syarat) nya, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten.
Di Aceh, pada saat datang bulan Maulid ada sebuah tradisi yang dilaksanakan bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.Tradisi tersebut dinamakan dengan “Kanduri Mulod” yang dilakukan di dalam 3 (tiga) bulan yaitu Rabiul Awwal sebagai mulod awai, Rabiul Akhir atau mulod teungoh, dan Jumadil Awwal yang diistilahkan dengan mulod akhe.
Kanduri Mulod” merupakan salah satu adat (tradisi) yang telah tersusun aturan perayaannya di Aceh. Adat tersebut termasuk dalam salah satu adat memperingati hari besar Islam di Aceh yang meliputi juga tentang peringatan Nuzulul Qur’an dan peringatan Isra Mi’raj.
Di kalimantan pada saat datangnya bulan Rabiul Awwal ada sebuah tradisi yang disebut dengan tradisi Baayun sebuah tradisi Maulid yang turun temurun. Tradisi ini berisi pembacaan do’a dan sholawat sambil mengayun anak dalam ayunan. Biasanya tradisi ini digelar di areal makam Pangeran Suriansyah, Kuin utara Raja Banjar penyebar agama Islam di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tujuan dari tradisi Baayun dengan mengayunkan anak pada bulan Maulid ini bertujuan agar seorang anak jika sudah besar nanti menjadi anak yang sehat, sholih dan sholihat serta mengikuti ketauladan Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam. Peringatan Maulid Nabi di Indonesia ditetapkan sebagai hari Libur Nasional ketika K.H. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat sebagai Menteri Agama. Upacara peringatan Maulid yang diselenggarakan oleh pemerintah RI pada awalnya diadakan di Istana Negara. Tetapi entah sejak kapan peringatan Maulid ini dipindahkan ke Mesjid Istiqlal. Pada momen tradisi keagamaan ini, Presiden, Wakil Presiden, para pejabat tinggi negara dan para duta besar Negara-negara Sahabat hadir bersama ribuan umat Islam.
F.       KITAB-KITAB MAULID
Sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i, Simtu Duror dan lain-lainnya atau dalam istilah orang Betawi dikenal dengan baca Rawi. Sesi pembacaan Barzanji, Diba’i atau Simtu Duror adalah sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, baik dalam perayaan maulid yang besar atau yang kecil. Di tengah pembacaan Barzanji, Diba’i atau simtu duror ini, ada suatu paragraf bacaan yang dikenal dengan mahallul qiyam. Dimana ketika ini dibaca, hadirin semua berdiri sambil bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam. untuk menghormatinya karena saat itu dipercaya bahwa ruh Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam. ikut hadir. Alangkah baiknya kalau kita mengenal isi kitab-kitab tersebut dan biografi para pengarangnya.
  1. Maulid Ad-Diba`i
            Kitab Maulid yang dikenal dan popular dengan nama “Mawlid Ad-Diba`i” ini adalah di antara kitab Maulid yang paling tua, hampir mencapai usia 500 tahun. Sepanjang masa tersebut, kitab Maulid Diba’i telah tersebar ke seluruh pelusuk dunia Islam. Dibaca, dihayati, diwirid oleh jutaan umat, yang awam maupun yang alim antara mereka. Kitab Maulid ini adalah karya seorang ulama besar dan seorang ahli hadits, Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Umar ad-Diba`ie Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi`i RahimahumUllah.
            Imam ad-Diba`i dilahirkan di kota Zabid pada hari Kamis sore 4 Muharram 866 H dan wafat hari Jumat pagi 12 Rajab tahun 944 H . Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tidak ada bandingannya pada masa hidupnya. Beliau mengajar kitab Shohih Al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai derajat Hafidz dalam ilmu hadits yaitu seorang yang menghafal 100.000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz As-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin Husain al-Ahdal dan banyak lagi. Selain itu, beliau juga seorang muarrikh, yakni seorang ahli sejarah.Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syekh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu, hal itu dikarenakan sewaktu beliau lahir, ayahnya sedang bepergian, setelah beberapa tahun kemudian baru terdengar kabar bahwa ayahnya meninggal di daratan India. Dengan bimbingan sang kakek dan para ulama kota Zabid ad-Diba’i tumbuh dewasa serta dibekali berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantara ilmu yang dipelajari beliau adalah: ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari Ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih.
            Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al-Muwattho` di bawah bimbingan syekh Zainuddin Ahmad bin Ahmad As-Syarjiy. Di tengah-tengah sibuknya belajar hadits, Ibn Diba’ menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT.
            Ungkapan pengarang, dalam Kitab maulid ad-Diba’I sangatlah indah dalam mengekspresikan kecintaannya terhadap Baginda Nabi Muhammad SAW dan menerangkan kelahirannya. Dengan menggunakan ungkapan metafora yang menawan diperkaya dengan imajinasi puitis sehingga kita yang membaca merasa tersentuh dengan gubahan syairnya. Misalnya dalam mahal qiyam :
يا نبي سلام علــــيك  يارسول سلام عليــك
يا حبيب سلام عليـك   صلوات الله عليـــــك
أشرق البدر علينا واختفت منه البــدور
مثل حسنك ما رأينا ..أنت يا وجه السرور
أشرق البدر علينا ..واختفت منه البـــدور
أنت شمسٌ ..أنت بدرٌ ..أنت نورٌ فوق نور
Artinya: ”Wahai Nabi, semoga keselamatan tetap untukmu,Wahai Rasul, semoga keselamatan tetap untukmu. Wahai kekasih, semoga keselamatan tetap untukmu. Juga rahmat Allah semoga tetap tercurah untukmu. Telah terbit bulan purnama menyinari kami. Maka suramlah karenanya purnama-purnama lain. Tiadalah pernah kami melihat perumpamaan kebagusanmu. Hanyalah engkau saja, wahai wajah yang berseri-seri. Engkaulah matahari, engkaulah purnama. Engkaulah cahaya di atas segala cahaya.
Kitab Maulid Ad-Daiba’ie juga Menyebut tentang Keagungan Kelahiran Baginda Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam
فاهتز العرش طربا واستبشار وازداد الكرسي هيبة ووقار وامتلأت السموات انواراوضجت الملائكة تهليلا وتمجيدا واستغفارا (سبحان الله والحمدلله ولآإله إلاالله والله اكبر) ولم تزل أمة ترى انواعا من فخره وفضله إلى نهاية تمام حمله فلما اشتد بها الطلق بإذن رب الخلق و ضعت الحبيب صلى الله عليه وسلم ساجدا شاكرا حامدا كأنه البدر فى تمام
Artinya: “Maka ‘Arasy bergegar kerana merasa gembiraKursi yang amat hebat itu pula menjadi semakin hebat dan ceria, Dan tujuh petala langit dipenuhi cahaya,Sedangkan suara para malaikat bergemuruh mengucapkan Tahlil, Tahmid, dan Istirgfar (Maha Suci Allah, dan segala Puji bagi Allah, dan tiada Tuhan melainkan Allah, dan Allah Maha Besar). Ibundanya sentiasa melihat pelbagai mimpi dan tanda kemegahan serta keutamaan bayi dalam rahimnya itu. Sehinggalah usia kandungannya cukup sempurna Lalu ketika merasakan dirinya akan melahirkan. Dengan izin Tuhan segala makhluk. Maka beliau pun melahirkan Al-Habib (Muhammad SAW) dalam keadaan bersujud syukur, dan memuji Allah, begitu indah laksana bulan purnama yang sempurna.
Karya ad-diba’i
            Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis.Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik dibidang hadits ataupun sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i.
            Di antara kitab karangannya ialah: “Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul” yang mengandung himpunan hadits yang dinukil dari kutub sittah. 2 “Tamyeezu at-Thoyyib min al-Khabith mimma yaduru ‘ala alsinatin naasi minal hadits” sebuah kitab yang membedakan hadits sahih dari selainnya seperti dhaif dan maudhu. 3. “Qurratul ‘Uyun fi akhbaril Yaman al-Maimun”. yang membahas tentang seputar Yaman. 4.“Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid”.5. “Fadhail Ahl al-Yaman”.
2. Maulid Barzanji
Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Sayyid Ja’far Al Barzanji. Kitab ini sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji adalah nama sebuah daerah di Kurdistan, Barzanj. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 (1711 M di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, ba’da Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Baqi.
Garis keturunannya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali R.A.
Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.
Kitab Al-Barzanji yang terkenal di berbagai pelosok dunia ini adalah sebuah ringkasan dari siroh Nabi yang dilukiskan dengan dua gaya bahasa yang indah dan menawan dalam bentuk nazom (puisi) dan natsar (prosa) Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair.
Dalam Barzanji sering mengulang kalimat untuk memisah antar Bab :
عطر اللهم قبره الكريم ، بعرف شذي من صلاة وتسليم اللهم صلي وسلم وبارك عليه
Artinya: “Ya Allah, Harumkanlah kuburnya yang mulia dengan wangi wangian yang semerbak dari rahmat dan kesalamatan”.
Salah satu syair yang sangat menawan dari gubahan dalam kitab Barzanji :
ومحيا كالشمس منك مضيء أسفر عنه ليلة غــراء ليلة المـولد الذي كــان للديـﻦ سرور بيومه وازدهاء يوم نالت بوضعه ابنه وهب من فخار ما لم تنله النساء وأتت قومهــا بأفضــل مما حملت قبل مريم العـذرا مولد كان منه في طالع الكـفــر وبـال عليـهم ووبــاء وتوالت بشري الهواتفث أن قد ولد المصطفي وحق الهناء
Artinya:“Cahaya yang seperti matahari bersihnya Menerangi malam dengan amat terangnya. Malam yang dilahirkan Nabi kita didalamnya Yang membawa agama yang nyata benarnya. Maka karena itu dapatlah Siti Aminah ibunya kemegahan yang wanita lain tidak mendapatinya. la membawa seorang putera untuk manusia sekalian Putera yang lebih mulia dari anak Mariam yang dara. Kelahiran Nabi kita pada pandangan kafir umumnya ialah suatu kedukaan yang terasa sangat berat. Maka bertalu-talulah suara bersorak dengan riuhnya “Telah zahir Nabi pilihan; inilah kegembiraan yang sebenarnya.”
            Diceritakan juga dalam Kitab al-Barzanji, kelahiran Nabi bahwa kelahiran kekasih Allah ini dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit dalam riwayat yang lain dikisahkan dilahirkan langsung bersujud, dilahirkan dengan sangat bersih keadaannya, serta ia telah berkhitan dan telah terpotong pusatnya dari dalam perut ibunya. Dan harum bau tubuhnya, serta berminyak rambutnya, serta tercelak kedua matanya, adalah dengan kudrat dan kehendak Allah SWT sebagai pertanda akan kemuliaannya dan ketinggiannya, serta kelebihan-kelebihannya yang melebihi makhluk lain semuanya. Dan juga yang demikian itu adalah menunjukkan bahwa ia kekasih Allah yang dijadikan sangat indah perangainya dan bentuk rupanya. Pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisra terguncang, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.
            Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.
            Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan nama Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H kemudian oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari wafat pada tahun 1299 H / 1882M.
            Sayyidul Ulamail Hijaz, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi juga menulis syarah dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanji tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’.
3. Simtu duror
 “Simthud-Durar fi Akhbar Mawlid Khairil Basyar min Akhlaqi wa Awshaafi wa Siyar” atau singkatannya “Simthud-Durar” adalah karangan maulid yang disusun oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (1259 – 1333H / 1839 – 1913M). Maulid yang juga terkenal dengan nama “Maulid Habsyi” ini telah didiktekan oleh Habib Ali tatkala beliau berusia 68 tahun dalam beberapa majlis yang dimulai pada hari Kamis 26 Shafar 1327 dan disempurnakan 10 Rabi`ul Awwal pada tahun tersebut dan dibacakan secara resminya di rumah murid beliau Habib ‘Umar bin Hamid as-Saqqaf pada malam Sabtu tanggal 12 Rabi`ul Awwal.
Habib Thoha bin Hasan bin Abdur Rahman as-Saqqaf dalam“Fuyudhotul Bahril Maliy” menukil kata-kata Habib ‘Ali berhubung karangannya tersebut seperti berikut: ”Jika seseorang menjadikan kitab mawlidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka sir Junjungan al-Habib SAW. akan nampak pada dirinya. Aku mengarangnya dan mengimla`kannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Junjungan Nabi Shallallahu Alaiihi wa Sallam …..”
Biografi pengarang:
            Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H, di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut.Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.
            Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu. Selanjutnya, beliau melaksanakan amanah yang dipercayakan oleh para Masyaikh kepadanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan kebanyakan umat Islam. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu. Di bawah pendidikan beliau kita bisa menyaksikan banyak sekali di antara muridnya yang berhasil kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan saja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia. Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H. Contoh gubahan al Habib dalam Simtu Duror:
اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد                            و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
فاطربوا يا اهل المثاني فهزار اليمن غرد                              واستضيئوا بجمال فاق في الحسن تفرد
و لنا البشرى بسعد مستمر ليس ينفد                             حيث اوتينا عطاء جمع الفخر المؤبد
فلربي كل حمد جل ان يحصره العد
                      اذ حبانا بوجود المصطفى الهادي محمد
يا رسول الله اهلا بك انا بك نسعد                                و بجاهه يا الهي جد و بلغ كل مقصد
و اهدنا نهج سبيله كي به نسعد و نرشد
رب بلغنا بجاهه في جواره خير مقعد
و صلاة الله تغشى اشرف الرسل محمد
و سلام مستمر كل حين يتجدد
Artinya: “Alam bersinar cemerlang bersukaria Demi menyambut kelahiran Ahmad al-Musthofa Penghuni alam bersukacita dengan kegembiraan yang berterusan selamanya. Wahai pengikut Al-Quran, hendaklah kamu bergembira. Burung-burung turut berkicauan tanda suka. Keindahan Baginda menerangi segalanya Mengatasi segala keindahan tanpa ada bandingannya. Dan wajib kita untuk bergembira atas bahagia yang berkesinambungan selama-lama. Tatkala kita menerima anugerah-Nya. Anugerah yang menghimpun kebanggaan sepanjang masa. Maka bagi Tuhanku segala puji dan puja. Pujian yang tiada terkiraAtas anugerah-Nya dengan wujudnya Baginda. Kelahiran Junjungan Muhammad al-Hadi al-Musthofa. Ya Rasulullah, selamat datang ahlan wa sahlan Sungguh denganmu kami beroleh kebahagiaan Wahai Tuhanku, demi jah Nabi Junjungan Kurniakanlah dan sampaikan segala maksud dan tujuan. Dan hidayahkanlah kami atas jalan Nabi Junjungan Agar dengannya kami beroleh kebahagiaan dan pimpinan Wahai Tuhan, sampaikanlah kami demi jah Nabi Junjungan. Di sisi baginda duduk berdampingan. Sholawat Allah dilimpahkan Atas semulia-mulia Rasul Nabi Junjungan Beserta salam yang berkekalan Sepanjang masa berubah zaman”.
            Dan juga
فحين قرب اوان وضع هذا الحبيب * اعلنت السموات والأرضون ومن فيهن بالترحيب * و امطار الجود الالهي على اهل الوجود تثج *والسنة الملائكة بالتبشير للعالمين تعج * والقدرة كشفت قناع هذا المستور * ليبرز نورهُ كاملاً في عالم الظهور * نوراً فاق كل نور *و انفذ الحق حكمه * على من اتم الله عليه النعمة * من خواص الأمة * ان يحضر عند وضعه امة * تانيساً لجنابها المسعود * و مشاركةً لها في هذا السماط الممدود * فحضرت بتوفيق الله السيدة مريم والسيدة اسية * و معهما من الحور العين من قسم الله له من الشرف بالقسمة الوافية * فاتى الوقت الذي رتب الله على حضوره وجود هذا المولود * فانفلق صبح الكمال من النور عن عمود و برز الحامد المحمود * مذعناً لله بالتعظيم والسجود *اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى آله
Artinya: “Dan ketika hampir tiba saat kelahiran insan tercinta ini, gema ucapan selamat datang yang hangat berkumandang di langit dan di bumi. Hujan kemurahan Ilahi tercurah atas penghuni alam dengan lebatnya…Lidah malaikat bergemuruh mengumumkan kabar gembira, kuasa Allah menyingkap tabir rahasia tersembunyi, membuat cahaya Nur-Nya terbit sempurna di alam nyata…“cahaya mengungguli segenap cahaya” Ketetapan-Nya pun terlaksana atas manusia pilihan yang ni’mat-Nya disempurnakan bagi mereka  yang menunggu detik-detik kelahirannya sebagai penghibur pribadinya yang beruntung dan ikut bergembira mereguk ni’mat berlimpah ini. Maka hadirlah dengan taufiq Allah; As-Sayyidah Maryam dan As-Sayyidah Asiah, bersama sejumlah bidadari surga yang beroleh kemuliaan agung yang di bagi-bagikan oleh Allah atas mereka yang dikehendaki…Dan tibalah saat yang telah diatur Allah SWT bagi kelahiran (maulud) ini. Maka menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah terang benderang menjulang tinggi……Dan lahirlah insan pemuji dan terpuji, tunduk khusyu’ di hadapan Alloh, dengan segala penghormatan tulus dan sembah sujud….”
            Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya kitab maulid adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan. Pada perkembangan berikutnya, pembacaan maulid membentuk sebuah tradisi misalnya membaca maulid yang disebut biasanya dalam tradisi Betawi membaca rawi dilakukan di berbagai kesempatan acara atau walimah sebagai sebuah pengharapan, tawasul dan doa tabarruk pada Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada di sana dan acara-acara lainnya. Caranya biasanya di masjid-masjid atau majlis ta’lim atau di rumah-rumah, orang-orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang membacakan maulid yang pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan. Pada pembacaan rawi dalam walimah aqiqah misalnya dilakukan bersamaan dengan “diestafetkannya” bayi yang baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain orang-orang yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian disemprot atau diberi setetes dua tetes minyak wangi. Di samping itu pembacaan maulid juga mengembangkan kesenian islam sebuah akulturasi budaya Arab dan budaya Indonesia misalnya muncul kesenian hadrah banjari, marawis, qosidahan, gambus, zapin.
BAB III
MAULID NABI  MMUHAMMAD SAW
DALAM PANDANGAN SYARIAT
A.     KERANGKA PEMIKIRAN ORANG YANG MENOLAK MAULID
Ketika datang bulan Rabi’ul Awwal mayoritas umat islam didunia merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk syukur kepada Allah atas kelahiran Nabi yang mulia, namun ada saja suara-suara yang tampaknya tidak senang dan alergi dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW mereka mempermaslahkan dan mempertanyakan hukum merayakan Maulid, bahkan lebih itu mereka menghukum sesat orang-orang yang merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam.
Sikap tidak senang dengan perayaan Maulid Nabi ini disuarakan di berbagai tingkat dan dengan berbagai ibarat. Ada yang menafikan adanya keistimewaan atau Fadhilah Maulid Nabi Shallallahu Alaiihi wa Sallam dan membanding-bandingkannya dengan prioritas Nuzul Quran. Ada yang mengungkit-ungkit bahwa sambutan Maulid tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya (maksudnya Bid `ah yang sesat). Ada pula yang menyamakan perayaan Maulid dengan natalan yang dirayakan umat kristiani. Dan ada juga yang mempertanyakan cara dan metode perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bagi orang-orang yang mengerti (ulama) dan mengenali suara-suara ini tidaklah terlalu terperanjat meskipun tetap menepuk dahi dan mengurut dada karena sedih dan kesal dengan kekeliruan dan kesalah pahaman serta sikap kedengkian yang ditonjolkan kepada umat islam yang tidak sepaham dengan mereka. Namun bagi orang-orang yang kurang mengerti dan memahami masalah merayakan Maulid mungkin sedikit-banyak akan ada kekeliruan dan timbul kesangsian terhadap perayaan Maulid. Apalagi jika statemen ini turut tercampuri dan terkotori sentimen politik kepartian. Tidaklah terlalu besar isunya, jikalau yang diperdebatkan tentang Maulid Nabi  ini adalah metode dan cara sambutannya. Prinsip-prinsip Islam dalam menentukan metode dan cara dalam sesuatu amalan Ibadah sudah diatur. Yang haram dan halal sudah jelas dalam Islam, sedangkan yang syubhat sepatutnya kita jauhi. Kita juga diajarkan harus bersikap lapang dada dalam persoalan yang statusnya masih khilafiyah. Kita juga dilarang mempertanyakan niat orang lain serta harus berprasangka baik sesama Islam.
Sayangnya, sebagian mereka yang alergi dengan perayaan Maulid ini juga mempertanyakan prinsip dan hukum Maulid Nabi  serta dalil-dalil yang menganjurkannya dari sisi Islam. Ini adalah soal yang lebih besar dan mendasar. Deformasi (Pengubahan bentuk dari yang baik menjadi buruk) dalam hal ini dapat melibatkan soal-soal besar termasuk menyakiti Nabi Shallallahu Alaiihi wa Sallam, tidak beradab dengan Baginda Shallallahu Alaiihi wa Sallam, menentang syiar Islam, menyesatkan para ulama dan umat Islam, memecahkan kesatuan umat dan sejenisnya. Tak heran seorang tokoh ulama Yaman, al-Allamah Abu Abdullah `Alawi al-Yamani juga menetapkan bab khusus tentang persoalan Maulid dalam kitabnya yang berjudul Intabih Diinuka fi Khotrin (Awas, Agamu Dalam Bahaya!). Memang, jika tidak berhati-hati, kata-kata dan perbuatan kita dalam bab Maulid ini sebenarnya dapat membahayakan dan mengancam agama kita.
Dalam bab ini kita akan mencoba untuk memperjelas hukum perayaan maulid dan menjawab syubhat anti Maulid Nabi SAW dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits juga disertai pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaiihi wa Sallam.
Jika diteliti, ada beberapa kerangka paham agama tertentu yang dipegangi oleh mereka yang alergi dengan perayaan Maulid Nabi yang akhirnya menyebabkan mereka bersikap begitu. Kerangka pemaham agama yang dangkal akan menyebabkan mereka turut mempermasalahkan dan berbeda sikap dengan mayoritas umat dalam soal-soal tertentu seperti fiqh bermazhab, tasawuf, dan beberapa perkara yang bersifat khilafiyyah. Kita dapat menyimpulkan kerangka pemahaman agama mereka ini ke dalam beberapa paham utama:
Pertama: Pemaham mereka yang ganjil terhadap konsep Bid’ah. Dan mereka tidak mau menerima pandangan ulama-ulama muktabar yang membagi Bid `ah kepada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah. Bagi mereka semua Bid’ah dalam hal agama adalah sesat. Mereka keras berpegang dengan penafsiran literal dan sempit ke hadis yang berhubungan persoalan Bid’ah ini.
Kedua: mereka terlalu menekankan sikap Ittiba’ (mematuhi) dalam sikap mereka terhadap Nabi Shallallahu Alaiihi wa Sallam dan Sunnahnya. Selanjutnya, baik secara langsung atau tidak mereka ini sering mempertentangkan Ittiba’ dengan sikap-sikap lain yang kita lakukan terhadap Nabi seperti Hubb (mencintai Nabi) Ta’dzim (mengagungkan Nabi), Tasyaffu’(memohon syafaat Nabi SAW), Tabarruk (mengambil berkat dari Nabi SAW), Tawassul (Memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama Nabi) dan sejenisnya.
Ketiga: mereka berpegang dan bertaklid kuat dengan paham dan penafsiran beberapa tokoh ulama khalaf tertentu seperti Syaikh Muhammad Abdul Wahab, Syaikh Nashirudin Al-Bany, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Utsaimin Syaikh Shalih Fauzan dan tokoh ulama wahabi lainnya yang akhirnya diolah dan terolah menjadi suatu aliran terasing dari arus mayoritas Umat Islam. Berbekal dari paham-paham ulama diatas aliran ini yang telah mereka angkat ke tingkat doktrin dan memang disebarkan secara indoktrinasi (secara diskusi sebelah pihak dan tidak adil atau objektif), mereka ini rata-rata bersikap lebih pesimis dan cenderung mempertanyakan interpretasi para ulama lain selain beberapa ulama yang menjadi ikutan mereka.
Jika direnungi paham-paham dasar mereka ini maka tidak heran mereka ini cenderung menolak Maulid. Sebaliknya, mereka yang mendukung Maulid tidak perlu mengambil pandangan ini karena dasar-dasar fahamannya ternyata berbeda dengan arus mayoritas Umat Islam didunia. Dalam pandangan ulama ahlussunnah wal jama’ah perayaan Maulid adalah paling tidak termasuk kedalam Bid’ah Hassanah. Malah ada pandangan yang menyatakan bahwa ia termasuk sunnah yang dimulai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri berdasarkan hadist yang menyebut bahwa kelahirannya pada hari Senin menjadi salah satu dasar Beliau Shallallahu Alaiihi wa Sallam berpuasa sunat pada hari-hari tersebut, “ Itu adalah hari aku dilahirkan dan itu adalah hari aku menerima wahyu kenabian”(Syarah Sohih Muslim, Imam Nawawi Jld 8 H: 235)
Mayoritas umat juga tidak melihat konsep Ittiba’, Hubb, Ta’dzim, Tasyaffu, Tabarruk dan Tawassul sebagai konsep-konsep yang bertentangan satu sama lainnya. Malah semuanya adalah bagian dan sejalan dengan kebijakan dan mentaati Nabi SAW, karena konsep-konsep ini tidaklah dilarang oleh agama atau bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Shallallahu Alaiihi wa Sallam.
Menurut dasar pemaham mereka yang ketiga, mayoritas Umat Islam telah mewarisi khazanah pemaham agama yang meliputi tiga cabang utamanya  yaitu Aqidah / Tauhid, Shariah / Fiqh dan Akhlak / Tasawwuf dari generasi demi generasi ulama-ulama pilihan dalam suatu kerangka yang dikemas dan sistematis. Para pembesar ulama Umat dalam kerangka ini rata-ratanya tidak menolak dan mendukung perayaan Maulid sehingga dapat dianggap ada sebuah Ijma `Sukuti (ijma` senyap) dalam menyambut perayaan Maulid Nabi Shallallahu Alaiihi wa Sallam setelah ia dimulai dan dirayakan secara besar-besaran.
  1. B.      FITNAH-FITNAH KEJI KALANGAN ANTI MAULID
Pembahasan sebelum ini sebenarnya telah memberi gambaran kepada kita tentang adanya fitnah-fitnah keji yang dilontarkan oleh kaum Salafi dan Wahabi sebagai kelompok anti Maulid di dalam fatwa-fatwa mereka terhadap amalan-amalan kaum muslimin yang sering mereka tuduh sebagai bid’ah. Namun begitu, perlu kiranya kami menyebutkannya lebih khusus agar setiap orang bisa mengetahui keburukan ajaran mereka dengan jelas, lalu terhindar dari dakwah sesat mereka.
Di antara fitnah-fitnah yang mereka lontarkan di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah (kumpulan fatwa-fatwa para ulama Salafi dan Wahabi), adalah sebagai berikut:
  1. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Lebih dari itu, pada umumnya, di sebagian negara, acara-acara peringatan maulid ini –selain bid’ah- tak lepas dari kemunkaran-kemunkaran. Misalnya, ikhtilath (campur-baur) antara pria dan wanita, pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan dan membuat tidak sadar, serta kemunkaran lainnya. Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar daripada itu, yaitu perbuatan syirik akbar karena ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Rasulullah Saw. atau para wali, berdo’a atau beristighatsah kepada beliau, meminta pertolongannya, mempercayai bahwa beliau mengetahui hal-hal yang ghaib, dan bermacam-macam kekufuran lainnya yang biasa dilakukan orang banyak dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. atau selain beliau yang mereka sebut sebagai wali.” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 11).
  2. Di dalam buku kecil yang dibagi-bagikan kepada jamaah haji setiap tahun, Hirasatu at-Tauhid atau terjemahnya Menjaga Tauhid, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, disebutkan: “…kemunkaran-kemunkaran, seperti bercampurnya lelaki dan perempuan (bukan mahram), pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan, ganja, dan lain sebagainya …“(Menjaga Tauhid/Hirasatu at-Tauhid, 2004, hal. 12)
  3. Ia juga berkata: “Semua ini tidak lain karena ia merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan pensyari’atan sesuatu yang tidak diizinkan Allah, serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan-red) dengan musuh-musuh Allah dari golongan Yahudi dan Nasrani yang menambah-nambahi agama mereka dan mengada-ada apa yang tidak diizinkan Allah.” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 8)
  4. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Dalam hadis ini (latattabi’unna sunana man kaana qablakum-red) dijelaskan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir adalah suatu hal yang mendorong kaum Bani Israil dan sebagian umat Nabi Muhammad Saw. untuk meminta permintaan buruk, yaitu menuntut Nabi Musa untuk membuatkan bagi mereka tuhan-tuhan berhala yang dapat mereka sembah dan mencari berkah darinya. Dan ini pulalah yang terjadi sekarang ini, di mana sebagian kaum muslimin senang meniru-niru kaum kuffar dalam praktek bid’ah dan kesyirikan, seperti perayaan hari kelahiran dan maulid, menjadikan hari-hari atau minggu-minggu tertentu untuk suatu kegiatan ritual khusus, menyelenggarakan pertemuan dan perayaan keagamaan, perayaan hari-hari peringatan, mendirikan patung-patung dan bermacam berhala kenangan, serta menyelenggarakan pesta makan dan berbagai bid’ah jenazah serta membangun kuburan, dan lain-lainnya.” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 85)
  5. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: “maka ketahuilah bahwa siapa pun yang berbuat suatu bid’ah (perkara baru yang mereka tuduh bid’ah-red) di dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid’ahnya itu, selain merupakan kesesatan juga sebagai suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Alah Swt., yang artinya:. “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamam ”Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab ada amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah, belum terdapat di dalamnya” .(Ensikopedia Bid’ah, hal. 23).
            Tentang fitnah-fitnah di atas, kita perlu mengajukan kepada kaum Salafi dan Wahabi beberapa pertanyaan tentangnya, agar mereka dapat memahami dan memikirkan ulang kenapa mereka begitu tega mengungkapkan pernyataan-pernyataan berbau fitnah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
  1. Dimanakah dan siapakah di antara pelaku peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang menghisap ganja atau menghidangkan minuman yang memabukkan pada acara tersebut?
  2. Benarkah latar belakang diadakannya peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah untuk meniru kaum Yahudi dan Nasrani, kitab tarikh (sejarah) mana yang menyebutkannya bahwa peringatan Maulid meniru kaum Yahudi dan Nasrani ? Pantaskah dianggap sama, umat Islam memperingati kelahiran seorang Nabi dan Rasul, sementara Nasrani merayakan kelahiran “anak tuhan”? Bukankah puasa ‘Asyura (10 Muharram) dilakukan oleh Rasulullah Saw. karena meniru perbuatan orang-orang Yahudi di Madinah?
  3. Apakah ikhtilath (berbaur) antara laki-laki dan perempuan di acara Maulid itu sama buruk dengan ikhtilath yang terjadi saat acara konser musik atau dangdutan? Bukankah di Masjidil Haram khususnya di areal thawaf juga terjadi ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, dan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw.? Apakah dengan begitu ibadah thawaf jadi buruk dan terlarang?
  4. Manakah dari amalan-amalan berikut ini yang dikategorikan sebagai kemunkaran dan kekufuran di dalam acara Maulid: Membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an, berzikir, bershalawat, bersilaturrahmi, menuntul ilmu, mendengar nasihat, mendengarkan pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad Saw., memuliakan dan menyanjung beliau, berkumpul dengan orang-orang shaleh, berdo’a, dan berbagi rezeki?
  5. Siapakah yang menganggap atau meyakini bahwa agama itu masih kurang dan belum sempurna? Dan siapakah yang berniat menyempurnakannya dengan melakukan amalan yang dituduh bid’ah seperti Maulid atau tahlilan?
  6. Siapakah yang berniat menghujat agama dengan melakukan kegiatan Maulid, tahlilan, atau lainnya?
            Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mereka jawab dengan dalil terperinci dan dengan mengajukan data yang akurat tentang tokoh atau pelaku yang mereka tuduhkan itu. Sebab kalau tidak, tuduhan-tuduhan mereka bukan cuma fitnah keji, tetapi juga penipuan besar! Dan anehnya, pernyataan-pernyataan jahat seputar acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. seperti di atas, masih terus disebarluaskan, dan buku yang memuatnya dicetak berulang-ulang dan dibagikan secara cuma-cuma, terutama kepada jama’ah haji setiap tahunnya. Lebih aneh lagi, kok masih ada saja yang percaya, setuju, lalu mengikuti ajarannya.
            Yang mungkin membuat mereka berpendapat sedemikian, adalah sikap mereka dalam memahami amalan orang lain yang selalu dinilai dari sudut pandang sendiri, ditambah lagi objek penilaian mereka seringkali adalah kalangan awam yang tidak mengerti dalil, atau bahkan “oknum” fasik yang menikmati maksiat kegemarannya di balik topeng tasawuf atau amalan Maulid. Ketahuilah, kekeliruan amalan orang awam karena kebodohannya, atau keburukan suatu amalan karena kefasikan pelakunya, sama sekali tidak dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menggenarilisir (memukul rata) setiap amalan sejenis sebagai amalan yang buruk dan sesat. Jika kita pernah diberi obat yang keliru oleh seorang dokter sehingga penyakit kita bertambah parah karenanya, pantaskah pengalaman itu membuat kita menganggap bahwa seluruh dokter sama buruknya dengan “oknum” dokter tersebut? Atau jika ada berita tentang seorang “oknum” tukang bakso yang menggunakan daging tikus dalam membuat baksonya, pantaskah jika kemudian kita berfatwa bahwa makan bakso yang mana saja haram hukumnya tanpa terkecuali karena menganggap semua tukang bakso sama-sama menggunakan daging tikus? Jawabnya, tentu tidak.
            Mungkin peribahasa yang paling pantas untuk menggambarkan cara pandang kaum Salafi & Wahabi dalam menilai amalan orang lain, adalah: “Kambing di seberang laut dikira macan, serigala di pelupuk mata dikira domba”.
            Akhirnya, setiap orang (termasuk kaum Salafi & Wahabi) hendaknya bertanya, kebaikan apakah yang terdapat di dalam sebuah ajaran agama seperti Salafi & Wahabi yang banyak mendasari ajarannya dengan tuduhan dan fitnah? Pantaskah ajaran seperti itu diikuti atau bahkan dianggap sebagai yang terbaik, paling lurus, dan paling sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau? Hanya orang berakal sehatlah yang dapat menjawabnya dengan benar!
C.      PENJELASAN BID’AH
Kalangan anti Maulid mereka adalah kelompok yang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya. Seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu, menafsirkan dengan seenak perut mereka dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu sebelum kita membahas hukum merayakan Maulid maka terlebih dahulu kita akan memperjelas permasalah bid’ah agar tidak sembarangan menuduh orang yang merayakan Maulid dengan tuduhan sesat dan ahli neraka.  
Untuk memperjelas permasalahan bid’ah ini, maka perlu ditegaskan terlebih dahulu apa definisi bid’ah, menurut ulama Ahlussunah, kemudian dilanjutkan dengan pembagian dan permasalahan-permasalahan lain yang berkaitan dengan bid’ah. Hal ini perlu dilakukan agar masing-masing kelompok yang berselisih memiliki konsep dan kriteria yang sama tentang permasalahan yang sedang diperselisihkan.
Harus diakui oleh kita, bahwa definisi bid’ah merupakan sesuatu yang tidak pernah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam. Rasulullah di dalam haditsnya hanya menyebutkan lafadz bid’ah dan tidak pernah menjelaskan sama sekali apa yang dimaksud dengan lafadz tersebut dan apa pula kriterianya. Hal ini penting untuk ditegaskan terlebih dahulu, karena dengan demikian tidak boleh ada kelompok yang merasa paling benar, apalagi sampai menyesatkan kelompok yang lain, hanya gara-gara masalah bid’ah yang bersifat mukhtalaf fih.
1.      Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
Artinya: “Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض( البقرة:117) وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل( الأحقاف: 9)، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
Artinya: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid’u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
Artinya: “Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
Artinya: “Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
2.      Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian: Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah. Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ)
Artinya: “Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
Artinya: “Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-’Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya. Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
Artinya: “Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan.  Sedangkan “tidak tidak ada perintah kami atasnya ” mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala”. Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid’ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit? Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadist tersebut mengenai “amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami” juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid Nabi, ziarah qubur, tahlilan dan lain-lainnya yang sering mereka permasalhkan, tanpa adanya dalil yang menyebutkannya secara khusus. Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara ” yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadist  Rasulullah Shallallahu Alaiihi wa Sallam. “Biarkan atau tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian” sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai “rahmat” dari Allah.
Hadits lain yang patut dipertimbangkan bahwa klasifikasi bid’ah ada dua; yaitu sayyi’ah dan hasanah adalah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ اعْلَمْ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اعْلَمْ يَا بِلَالُ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ هُوَ مَصِّيصِيٌّ شَامِيٌّ وَكَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy yang menurut Abu Isa di dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy juz : 6 hal,476 berkwalitas hasan, secara jelas kita lihat bahwa lafadz بدعة oleh nabi tidak diucapkan secara mutlak, akan tetapi diucapkan dengan menggunakan qayyid. Hal ini bisa disimpulkan bahwa bid’ah memang ada dua; bid’ah yang dlalalah dan bid’ah yang tidak dlalalah atau dalam bahasa yang umum bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah.
Karena adanya dalil tentang masalah ini yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad, maka memungkinkan untuk membawa dalil yang menyebutkan bid’ah secara mutlak- sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di atas- untuk dibawa dan ditafsiri dengan dalil yang menyebutkan bid’ah secara muqayyad. Metode semacam ini dalam istilah ushul fiqh terkenal dengan sebutan “hamlu al-mutlaq ‘ala al-muqayyad” Karena analisis di atas, maka tidak heran apabila jumhur al-ulama membagi bid’ah menjadi dua; yaitu bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah. Tentang pembagian bid’ah ini ada kesimpulan menarik yang ditawarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki yang berbunyi :
ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث ، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة ، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الاجتماع قريب وموطن النزاع بعيد . وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية ، واعتبارهم ذلك ضرورة . وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة ، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي
Artinya: “karena itu, sesungguhnya pembagian bid’ah pada bid’ah hasanah dan sayyi’ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid’ah lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan dengan al-qur’an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam arti syar’iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan tertolak. Seandainya mereka yang ingkar memahami hal ini, maka akan tampak bagi mereka bahwa ruang dan kesempatan untuk bersatu menjadi dekat dan terbuka dan peluang untuk perselisihan menjadi jauh” saya berpandangan bahwa kelompok yang mengingkari pembagian bid’ah hanyalah hanyalah dalam konteks pembagian bid’ah syar’iyah dengan bukti mereka terpaksa membagi bid’ah menjadi diniyah dan dunyawiyah.Kelompok yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah tidak lain diarahkan untuk bid’ah lughawiyah karena mereka berpandangan bahwa menambah agama dan syariat merupakan kesesatan dan kejelekan yang besar. Karena demikian tidak diragukan lagi bahwa perbedaan pendapat yang terjadi hanya pada permasalahan kulit, bukan substansi”(Lihat Mafahim Yajib An-Thushohaha, hlm:105)
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
3.      Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Syaikh as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):
Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
Artinya: “Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah”.(Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.
Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
Artinya: “Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Baginda Rasulullah SAW mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
 Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: SABAR SAAT TERTIMPA BENCANA DAN MELURUSKAN AQIDAH 

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ٢:١٥٥ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ٢:١٥٦ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ ٢:١٥٧

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. [al Baqarah/2:155-157]

PENJELASAN AYAT

Firman Allah Ta’ala :

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan”.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, (pada ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menguji dan menempa para hamba-Nya. Terkadang (mengujinya) dengan kebahagiaan, dan suatu waktu dengan kesulitan, seperti rasa takut dan kelaparan.

Senada dengan keterangan sebelumnya, Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menyatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa Dia pasti akan menguji para hambaNya dengan bencana-bencana. Agar menjadi jelas siapa (di antara) hamba itu yang sejati dan pendusta, yang sabar dan yang berkeluh-kesah. Ini adalah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Seandainya kebahagiaan selalu menyertai kaum Mukminin, tidak ada bencana (yang menimpa mereka), niscaya terjadi percampuran, tidak ada pemisah (dengan orang-orang tidak baik). Kejadian ini merupakan kerusakan tersendiri. Sifat hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala (ini) menggariskan adanya pemisah antara orang-orang baik dengan orang-orang yang jelek. Inilah fungsi musibah”.

Makna dari “dengan sedikit ketakutan dan kelaparan,” yaitu takut kepada para musuh dan kelaparan yang ringan. Sebab bila diuji dengan rasa takut yang memuncak atau kelaparan yang sangat, niscaya mereka akan binasa. Karena, hakikat ujian adalah untuk menyeleksi, bukan membinasakan. Sedangkan musibah berupa “kekurangan harta,” mencakup berkurangnya harta akibat bencana, hanyut, hilang, atau dirampas oleh sekelompok orang zhalim, ataupun dirampok.

Adapun bencana yang menimpa “jiwa,” yaitu berupa kematian orang-orang yang dicintai. Misalnya, seperti anak-anak, kaum kerabat dan teman-teman. Atau terjangkitinya tubuh seseorang, atau orang yang ia cintai oleh terjangkiti berbagai penyakit.

Berkaitan dengan kekurangan pada “buah-buahan,” lantaran bergulirnya musim dingin, salju, terjadinya kebakaran, gangguan dari belalang dan hewan lainnya, sehingga kebun-kebun dan ladang pertanian tidak menghasilkan sebagaimana biasanya.

Kata sabar berasal dari shabara. Yakni menahan dan menghalangi. Mengandung makna mengekang jiwa dari menolak ketetapan takdir, menahan lisan dari keluh-kesah dan murka, serta mengendalikan anggota tubuh dari tindakan memukuli pipi, merobek-robek baju, dan reaksi-reaksi lainnya yang bersifat jasmani, dengan maksud menggugat takdir.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ٦٤:١١

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” [at Taghabun/64:11]

Alqamah rahimahullah, seorang dari kalangan Tabi’in berkata: “Ia adalah seseorang yang dilanda musibah. Kemudian ia meyakini bahwa musibah itu berasal dari Allah, sehingga tetap ridha dan berserah diri”.

PERLUNYA JIWA DIDIDIK DENGAN BENCANA 

Bencana atau musibah yang sedang melanda, hakikatnya memiliki peran besar dalam mendidik jiwa. Karena sudah semestinya jiwa itu juga harus dididik, meskipun dengan bencana. Sehingga ia akan memiliki kekuatan yang tegar, keteguhan sikap, terlatih, selalu respek dan waspada terhadap lingkungan sekitar.

Kesulitan-kesulitan yang dialami jiwa, sesungguhnya akan menghasilkan potensi luar biasa. Potensi itu dalam bentuk kekuatan besar yang tersembunyi. Kesulitan-kesulitan itu mampu membuka celah-celah hati, yang bahkan tidak diketahui oleh seorang mukmin sekalipun, kecuali melalui bencana atau musibah yang menderanya.

Saat itulah, seorang manusia harus segera menyadari, bahwa yang paling penting ialah iltija`. Yaitu mencari perlindungan diri kepada Allah semata, ketika seluruh tempat bergantung mengalami kegoncangan. Tidak ada tempat berlindung kecuali naungan-Nya. Tidak ada pertolongan, kecuali dari-Nya. Di saat-saat genting itulah, tabir kepalsuan kekuatan makhluk tersingkap. Tidak ada kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah. Tidak ada daya kecuali daya-Nya. Dan tidak ada tempat perlindungan kecuali kepada-Nya. Razaqanallah husnal khatimah

SABAR SAAT TERTIMPA BENCANA DAN MELURUSKAN AQIDAH 

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ٢:١٥٥ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ٢:١٥٦ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ ٢:١٥٧

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. [al Baqarah/2:155-157]

PENJELASAN AYAT

Firman Allah Ta’ala :

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan”.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, (pada ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menguji dan menempa para hamba-Nya. Terkadang (mengujinya) dengan kebahagiaan, dan suatu waktu dengan kesulitan, seperti rasa takut dan kelaparan.

Senada dengan keterangan sebelumnya, Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menyatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa Dia pasti akan menguji para hambaNya dengan bencana-bencana. Agar menjadi jelas siapa (di antara) hamba itu yang sejati dan pendusta, yang sabar dan yang berkeluh-kesah. Ini adalah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Seandainya kebahagiaan selalu menyertai kaum Mukminin, tidak ada bencana (yang menimpa mereka), niscaya terjadi percampuran, tidak ada pemisah (dengan orang-orang tidak baik). Kejadian ini merupakan kerusakan tersendiri. Sifat hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala (ini) menggariskan adanya pemisah antara orang-orang baik dengan orang-orang yang jelek. Inilah fungsi musibah”.

Makna dari “dengan sedikit ketakutan dan kelaparan,” yaitu takut kepada para musuh dan kelaparan yang ringan. Sebab bila diuji dengan rasa takut yang memuncak atau kelaparan yang sangat, niscaya mereka akan binasa. Karena, hakikat ujian adalah untuk menyeleksi, bukan membinasakan. Sedangkan musibah berupa “kekurangan harta,” mencakup berkurangnya harta akibat bencana, hanyut, hilang, atau dirampas oleh sekelompok orang zhalim, ataupun dirampok.

Adapun bencana yang menimpa “jiwa,” yaitu berupa kematian orang-orang yang dicintai. Misalnya, seperti anak-anak, kaum kerabat dan teman-teman. Atau terjangkitinya tubuh seseorang, atau orang yang ia cintai oleh terjangkiti berbagai penyakit.

Berkaitan dengan kekurangan pada “buah-buahan,” lantaran bergulirnya musim dingin, salju, terjadinya kebakaran, gangguan dari belalang dan hewan lainnya, sehingga kebun-kebun dan ladang pertanian tidak menghasilkan sebagaimana biasanya.

Semua ini dan bencana lain yang serupa, merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi para hamba-Nya. Barangsiapa bersabar, niscaya akan memperoleh pahala. Dan orang yang putus asa, akan ditimpa hukuman-Nya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri ayat ini dengan berfirman:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“(Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar)”.

Maksudnya, berilah kabar gembira atas kesabaran mereka. Pahala kesabaran tiada terukur. Akan tetapi, pahala ini tidak dapat dicapai, kecuali dengan kesabaran pada saat pertama kali mengalami kegoncangan (karena tertimpa musibah).

Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kriteria orang-orang yang bersabar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“(Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.

Kata-kata إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” inilah, dikenal dengan istilah istirja’, yang keluar dari lisan-lisan mereka saat didera musibah.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Mereka menghibur diri dengan mengucapkan perkataan ini saat dilanda (bencana) dan meyakini, bahwa mereka milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) berhak melakukan apa saja terhadap ciptaan-Nya. Mereka juga mengetahui, tidak ada sesuatu (amalan baik) yang hilang di hadapan-Nya pada hari Kiamat. Musibah-musibah itu mendorong mereka mengakui keberadaanya sebagai ciptaan milik Allah, akan kembali kepada-Nya di akhirat kelak.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kata-kata itu sebagai sarana untuk mencari perlindungan bagi orang-orang yang dilanda musibah dan penjagaan bagi orang-orang yang sedang diuji. Karena kata-kata itu mengandung makna yang penuh berkah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (إِنَّا لِلَّهِ) ini mengandung nilai tauhid dan pengakuan penghambahaan diri, dan di bawah kepemilikan Allah.

Sedangkan firmanNya (وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ) mengandung makna pengakuan terhadap kehancuran yang akan menimpa manusia, dibangkitkan dari kubur, serta keyakinan bahwa segala urusan kembali kepada Allah.

أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ

“(Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya)”.

Betapa besar balasan kebaikan yang diperoleh orang-orang yang mampu bersabar, menahan diri dalam menghadapi musibah dari Allah, Dzat yang mengatur alam semesta ini.

Kata Imam al Qurthubi rahimahullah : “Ini merupakan rangkaian kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang bersabar dan mengucapkan kalimat istirja’. Yang dimaksud “shalawat” dari Allah bagi hamba-Nya, yaitu ampunan, rahmat dan keberkahan, serta kemuliaan yang diberikan kepadanya di dunia dan di akhirat. Sedangkan kata “rahmat” diulang lagi, untuk menunjukkan penekanan dan penegasan makna yang sudah disampaikan”.

Imam ath-Thabari mengartikannya dengan makna maghfirah (ampunan). Sedangkan menurut Ibnu Katsir rahimahullah maknanya ialah, mereka mendapatkan pujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“(dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk)”.

Disamping karunia yang telah disebutkan, mereka juga termasuk golongan orang-orang muhtadin (yang menerima hidayah), berada di atas kebenaran. Mengatakan ucapan yang diridhai Allah, mengerjalan amalan yang akan membuat mereka menggapai pahala besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dalam konteks ini, yaitu keberhasilan mereka bersabar karena Allah.

Ayat ini menunjukkan pula balasan bagi orang yang tidak mampu bersabar. Yaitu akan mendapat balasan dalam bentuk celaan, hukuman dari Allah, kesesatan dan kerugian.

No comments: